Senin, 12 Desember 2011

Filsafat hukum islam


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
 Di antara sekian banyak prinsip yang dikenal di dalam islam maka allah swt adalah sebagai sumber syariat dan hokum, baik hukum yang dikenal baik melalui Al-Quran atau As-Sunah, ataupun melalui ijtihad para Mujtahid, karena peran Mujtahid itu hanya terbatas pada memperjelas atau memunculkan hokum allah serta menemukan melalui jalan istinbath (penetapan hukum berdasarkan teks Al-Quran atau As-Sunah) yang bersifat nalar di dalam lingkup tujuan-tujuan syariat serta sesuai pula dengan jiwanya yang umum, namun karena karunia dan perlakuan baikNya, maka allah telah menetapkan untuk diri-Nya sikap rahim-Nya kepada manusia. Karena itu, Dia tidak membuat sesuatu ketetapan kecuali yang sesuai dengan hikmah, dapat mewujudkan maslahah jadi kenyataan, karena apa yang diperbolehkan-Nya maka itu adalah bermanfaat dan baik, dan apa yang diharamkan-Nya maka itu adalah merusak dan kotor atau jelek.
 Prinsip ini merupakan kemantapan berdasarkan penelitian yang mendalam serta pemeriksaan yang teliti terhadap ketetapan-ketetapan hukum syariat yang kesemuanya ditetapkan untuk merealisasi kemaslahatan manusia, baik untuk meraih keuntungan ataupun buruk untuk menghindarkan dari sesuatu yang merugikan.

1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka terdapat masalah yang akan dibahas yaitu:
Apakah yang dimaksud dengan hukum darurat dan keluasan hukum islam?





BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Darurat
Definisi darurat menurut pengertian bahasa:
Kata Al jurjani “dlarurat itu berasal dari kalimat adh-dharar yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.[1]
Menurut ibnu Al Mandzur, makna dari al idhthiraar ialah membutuhkan sesuatu. Sedangkan menurut pendapat para ulama ahli bahasa dapat disimpulkan bahwa makna darurat adalah kebutuhan yang sangat. Dan makna kalimat al idhthirar ila asy-syai’ adalah al ihtiyaj ilaihi yang berarti membutuhkan pada sesuatu. Jadi, darurat adalah sebuah kalimat yang menunujukan atas arti kebutuhan atau kesulitan yang berlebihan.
Definisi darurat dalam pengertian syariat:
Darurat memiliki beberapa definisi yang menurut para ulama ahli fiqih maknanya hampir sama. Diantaranya sebagai berikut:
1.      Menurut Al Hamawi dalam catatan pinggir (hasyiyah) atas kitab “Al Asybaah Wannadzaair” oleh ibnu najim, “darurat ialah posisi seorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka ia bisa mati atau nyaris mati. Posisi seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan.
2.      Menurut Abu Bakar Al Jashsash, “makna darurat disini ialah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak makan.
3.      Menurut Ad-Dardiri dalam Asysyarhushshaghir, “darurat ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat.”
4.      Menurut sebgian ulama dari madzhab maliki, “darurat ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
5.      Menurut As-Suyuthi, “darurat ialah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.”
6.      Menurut ulama syafi’iyah, darurat adalah rasa kuatir akan terjadinya kematian atau sakit yang menakutkan atau menjadi semakin parahnya penyakit atau semakin lamanya sakit atau terpisahnya dengan rombongan seperjalanan, atau kuatir melemahnya kemampuan berjalan atau mengendarai jika ia tidak makan dan ia tidak mendapatkan yang halal untuk dimakan yang ada hanya yang haram, maka dikala itu ia mesti makan yang haram itu.

2.2    Dalil-dalil yang Menunjukan Diperbolehkannya Sesuatu yang Diharamkan Dalam Keadaan  Darurat
Dalil-dalil dari Al-Quran:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al Baqarah:173)
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã ¨bÎ*sù š­/u Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÍÎÈ  
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS Al An’am:145)
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ̍ƒÍ\Ïø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã  cÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÊÎÈ  
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS An-Nahl:115)
Dalil-dalil Dari Al-Hadits:
1.      Dari Abu Waqid al-Laitsi, ia berkata, “saya berkata, wahai Rasulullah, kita berada di bumi yang membawa kita pada kelaparan berat, lalu bangkai apa yang yang halal bagi kita?, beliau bersabda:
Apabila kamu tidak mendapatkan minyak untuk dijadikan penerangan di malam hari, tidak mendapatkan susu untuk diminum, tidak mendapatkan tumbuhan-tumbuhan untuk dimakan, maka disaat itu kamu dibolehkan memakan bangkai.
2.      Dari jabir ibn samrah, bahwa sebuah keluarga yang menghuni sebuah rumah yang berada di al-Hurrah dalam keadaan kekurangan makanan, kata jabir,”lalu unta milik mereka mati, atau milik orang lain, maka Rasul memberi keringanan untuk memakannya.”
3.      Dari al hasan dari samurah bahwa nabi SAW bersabda:”apbila kamu mendatangi hewan perahan, dan didekatnya ada pemiliknya, maka hendaklah kamu minta izin kepadanya,. Jika ia memmberi izin, maka perahlah susunya dan minumlah. Jika pemiliknya tidak berada didekatnya, maka panggillah dia sebnyak tiga kali. Jika ia menjawab, maka minta izinlah kepadanya, dan jika dia memberi izin  maka itu tidak ada persoalan, tetapi jika ia tidak member izin, maka perahlah dan minumlah seperlunya dan jangan mengambilnya untuk dibawa.”(Rowahu Abu Daud wa Tirmidzi wa sohihah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar